MAKALAH
FIQH MUAMALAH
Tentang
“SEWA dan UPAH”
Oleh :
DEKA NANDA SAPUTRA : 1630403018
ALFIAN :
1630403005
ALFURQON :
1630403004
Dosen :
MULIYADI THAIB, MA
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
KONSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
(IAIN)
BATUSANGKAR
2018
DAFTAR
ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar
belakang
B. Rumusan
masalah
BAB II (PEMBAHASAN)
A.
Pengetian
B.
Dasar hukum
C.
Rukun dan syarat ijarah
D.
Macam-macam ijarah
E.
Pembayaran Upah dan Sewa
F.
Perbedaan Ijaroh dan Ju’alah
BAB III (PENUTUP)
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang
hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Didalamnya
termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi
yang dibahas didalam fiqih muamalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah
yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam
pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi obyek transaksi adalah manfaat yang
terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering disebut dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’.
Ijarah yang sering kita kenal dengan persewaan, sangat sering membantu
kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini, seseorang yang terkadang belum bisa
membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.
Sebagaimana transaksi umum, maka ijarah memiliki
aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan
transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan
aturan-aturan yang berlaku.
b.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Sewa dan Upah?
2.
Bagaimana dasar hukum Sewa dan Upah ?
3.
Bagaimana kedudukannya?
4.
Apa saja bentuk-bentuk sewa dan upah?
5.
Bagaimana Standar laba sewa dan pemberian
upah?
6.
Apa perbedaan prinsip ijarah dan ju’alah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Ijarah/sewa berasal
dari kata al-ajru yang artinya ‘ganti’, upah atau menjual manfaat. Menurut Zuhaily (1989: 729), transaksi sewa (ijarih)
identic dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi
dengan waktu.
Secara istilah syariah, menurut ulama ushul fiqih,
menurut Al-Jazari (2005: 523), sewa dalam akad terhadap manfaat untuk masa
tertentu dengan harga tertentu. Menurut Sabiq (1983: 194), sewa adalah suatu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Adapun pengertian ijarah yang dikemukakan oleh para
ulama madhab sebagai berikut:
a.
Pengertian ijarah menurut ulama Hanafiyah
ialah:
عقذ يفيد
تملك منفعة معلومة مقصودة عن العين المستاجرة معوض
“Akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan dilakukan dengan sengaja dari
satu zat yang disewa dengan disertai imbalan.”
b.
Pengertian ijarah menurut ulama
Malikiyah ialah:
تسمية التناقد على منفعةالأدمى وبعدالمنقولات
“Nama bagi
akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan juga untuk sebagai yang
dapat dipindahkan.”
c.
Pengertian ijarah menurut Sayyid
Sabiq ialah:
عقد على
المنافع بعوض
“jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”(Huda, Qomarul:2011)
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya
tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga
hukumnya menyewakan dua jemis mata uang (emas dan perak), makanan untuk
dimakan, barang yang dapat ditakar dan dirimbang. Alasannya, semua jenis barang
tersebut tidak dapat dimanfatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang
tersebut. Semua manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah
untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Pihak pemilik yang menyewakan manfaat
sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir.
Dan, sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa
yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah
upah.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memiliki
hak atas manfaat dan pihak yang menyewa berhak mengambil kompensasi sebab sewa
adalah akad mu’awadhah timbal balik. (Sabiq Sayyid:2006)
B. Dasar Hukum
Dasar hukum atau landasan hukum ijarah adalah Al-qur’an,
al-hadits, dan ijma’. Dasar hukum ijarah dari al-Qur’an adalah surat at-Thalaq:
6 dan al-Qashash: 26. Sebagai mana firman Allah SWT;
1.
Surat at-Thalaq: 6
فإن أرضعن
لكم فآتوهن أجورهن
“...
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah kepada mereka
upahnya.”
2.
Surat al-Qashash: 26
قالت إحداهما
ياأبت استأجره إن خيرمن استأجرت القوي الأمين
“Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Dasar hukum ijarah dari al-Hadits sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah Saw.
أعطوا الأجيرأجره قبل أن يجف عرقه
“Berikanlah upah terhadap pekerjaan, sebelum kering
keringatnya.”
Dalam hasits lain, Rasulullah juga bersabda:
أن رسول الله أحتجم واعطى الحجام أججره واستعطى
“Rasulullah
SAW. melakukan bekam, dan membayar upah terhadap tukang bekam tersebut,
kemudian Rasul menggunakan obatnya.”
Adapun dasar
hukum ijarah dari ijma’ ialah bahwa semua ulama telah sepakat terhadap
keberadaan praktek ijarah ini, meskipun mereka mangalami perbedaan dalam ataran
teknisnya. (Huda, Qomarul: 2011)
Adapun hukum
syariat mengesahkan praktek sewa karena kehidupan sosial memang membutuhkannya.
Sepertihalnya masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal dan satu sama
lain saling membutuhkan.
C. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun ijarah hanya
terdiri ijab dan qabl. Karena itu akad ijarah sudah dianggap sah
dengan adanya ijab-qabul tersebut, baik dengan lafal ijarah atau
dengan lafal yang menunjukkan makna tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun
ijarah terdiri dari mu’jir, masta’jir,ajr, manfaat dan shighah(ijab-qabul).
Adapun mengenai syarat ijarah yang harus dipenuhi oleh
mu;jir dan musta’jir (pihak yang melakukan akad ijarah),sama
dengan syarat pada akad lainnya, seperti keduanya harus berakal sehat dan
dewasa. Tetapi kalangan ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan (kebolehan)
orang yang belum dewasa bertindak sebagai para pihak dalam akad ijarah
tersebut. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyyah, bahwa seseorang yang belum
dewasa (mumayyiz) dapat berperan sebagai pihak yang melakukan akad ijarah,
dengan syarat harus ada izin dari walinya. Karena itu akad ijarah
seorang anak yang belum dewasa bersifat mauquf (ditangguhkan), sampai
ada izin dari walinya. (Huda, Qomarul:2011)
Berdasarkan rukun ijarah di atas, dapat disimpulkan
syarat-syarat yang berlaku dalam ijarah sebagai berikut:
1.
Ijarah dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak tasharruf (membelanjakan harta). Syarat ini berlaku
bagi semua jenis mu’amalah.
2.
Manfaat dapat diketahui, seperti menempati
rumah, mengajarkan suatu ilmu, dll.
3.
Diketahui upahnya
4.
Barang yang menjadi obyek akad dapat
diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik atau definitif.
5.
Manfaat dalam ijarah adalah mubah, tidak
sah manfaat yang haram. (Ath-Thayyar. A.M:2014)
D. Macam-macam
Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah,
maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:
1.
Ijarah ‘ala al-munafi’.yaitu ijarah yang obyek
akadnya adalah manfaat. Dalam ijarah ini tidak diperbolehkan menjadikan
obyeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh
syara’. Menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai
dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah
bahwa sew tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung,
melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut. Namun
ada akad ijarah ‘ala al’manafi’ yang perlu mendapat perincian lebih
lanjut, yaitu:
a.
Ijarah al- ‘ardh (akad sewa tanah )
untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika
dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan
jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah memberi izin untuk ditanami apa
saja.
b.
Akad sewa pada binatang harus jelas
peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya.
Karena binatang binatang dapat dimanfaatkan banyak hal, jika untuk menghindari
sengketa kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad.
2.
Ijarah ‘ala al-‘amaal
ijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya atau
pekerjaannya, seperti membangun gedung menjahit pakaian. Akad ijarah ini
terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu, pembahasannya lebih
dititikberatkan kepada pekerja atau buruh (ajir). Ajir itu sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu ajir
khass dan ajir musytarak. Pengertian ajir khass adalah
pekerjaan atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam
waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga. Sedangkan ajir
musytarak adalah seorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat
oleh orang tertentu. Dia mendapat upah karena profesinya, bukan karena
penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara dan konsultan. (Huda, Qomarul:2011)
E. Pembayaran Upah dan
Sewa
Ujrah (upah)Para ulama telah menetapkan syarat
upah :
1.
Berupa harta tetap yang diketahui oleh
kedua belah pihak
2.
Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat
dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut
Dahulu kami menyewa tanah dengan
jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang
kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham.
(HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sebaiknya upah diberikan per hari
sesuai dengan hadits Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah
orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah).
Jikaijarahsuatu
pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan.
Bila tidak ada pekerjaaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak
disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut
Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat
yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan
akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan dzat benda yang disewa kepada musta’jir,
ia berhak menerima bayaran kepada penyewa sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai
berikut :
a.
Ketika pekerjaan selesai dikerjakan,
beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda :
b.
Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar
ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang
diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung. (Suhendi, Hadi:2005)
1)
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan
menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang
itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikankan ketika akad, seperti penyewaan
seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di
sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua,
maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam
arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang
bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat
kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan
atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung
jawab adalah musta’jir itu
sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena
disimpan bukan pada tempat yang layak.
2)
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad
yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah
merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan
fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh)
bila ada hal-hal sebagai berikut :
a)
Terjadinya cacat pada barang sewaan yang
terjadi pada tangan penyewa;
b)
Rusaknya barang yang disewakan, seperti
rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c)
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur
‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
d)
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesai perkejaan;
e)
Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari
salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya
ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
3)
Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan jika barang itu dapat dipindahkan, ia
wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah
benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong,
jika barang sewaan tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah
berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian
mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. (Suhendi, Hadi:2005)
F. Perbedaan Ijarah dan Ju’alah
NO.
|
Ijaroh
|
Ju’alah
|
1
|
·
Transaksi yang bersifat mengikat
semenjak transaksi diadakan
|
·
Transaksi yang mengikat manakala
pekerja mulai melakukan pekerjaannya. Pada saat itu, tidak boleh ada pihak
yang membatalkan transaksi secara sepihak.
|
2
|
·
Upah atau uang sewa itu telah
menjadi hak pihak yang menyewakan manakala pihak yang menyewakan telah
memberikan kesempatan kepada pihak penyewa untuk memanfaatkan barang yang
menjadi objek transaksi.
|
·
Upah dalam transaksi ijarah orang
itu sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Dalam transaksi ijarah uang
sewa boleh diserahkan di muka.
·
Upah menjadi hak pekerja setelah
dia selesai bekerja dan pihak yang mempekerjakannya telah mendapatkan manfaat
dari pekerjaan yang dia lakukan.
|
3
|
·
Di antara syarat sah transaksi
ijarah adalah adanya kejelasan jasa dan atau manfaat yang dijual disamping
kejelasan masa sewa. Adapun dalam transaksinya tidak disyaratkan harus ada
kejelasan masa kerja boleh jadi sebentar, boleh jadi lama semisal transaksi
ju’alah untuk mengembalikan hewan yang kabur.
|
·
Dalam transaksi Ju’alah hanya
disyaratkan adanya kejelasan jasa atau manfaat yang menjadi objek transaksi.
Adapun kejelasan besaran upahnya mengacu kepada upah standar di suatu daerah
untuk pekerjaan semacam itu jika terjadi sengketa antara dua orang yang
mengadakan transaksi Ju’alah.
|
G.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di definisikan sebagai hak untuk
memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Akad ijarah
merupakan akad jual beli, namun demikian, dalam ijarah kepemilikan dibatasi
dengan waktu. Para fuoha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan
oleh syara’. Rukun ijarah ada empat yaitu: ‘Aqid (orang yang akad), shigat
akad, ujrah(upah), dan manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana
syarat dalam jual beli, yaitu: syarat Al- inqad(terjadi akad), syarat An-Nafadz
(syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang
tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi
penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Huda,
Qomarul. 2011. Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta: TERAS, Cet. I.
Muhammad bin
Abdullah Ath-Thayyar. 2014. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, Yogyakarta:
Maktabah Al-Hanif, Cet. II.
Sabiq,
Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. I.
Suhendi,
Hadi. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar