MAKALAH
ILMU
EKONOMI MIKRO
Tentang
:
TEORI KETENAGAKERJAAN
DAN UPAH
Oleh :
DEKA NANDA SAPUTRA
NIM: 1630403018
Dosen
:
SYUKRI ISKA, M. AG
IVELDA NENGSIH, SEI. MA
JURUSAN
EKONOMI SYARIAH KOSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR 2017
DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
A.
Latar belakang
B.
Rumusan masalah
BAB II (PEMBAHASAN)
A. Nilai kerja dalam pandangan islam
B. Penentuan ujrah yang adil dan manusiawi
C. Perbedaan penentuan ujrah dalam ekonomi islam dan
konvensional
BAB
III (PENUTUP)
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kerja merupakan salah satu kegiatan penting bagi
kehidupan manusia, bahkan terkadang menjadi sangat dominan dibanding dengan
aktifitas-aktifitas lainnya terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kerja
dapat diartikan secara umum maupun khusus. Secara umum, kerja mencakup semua
bentuk usaha yang dilakukan oleh manusia, baik dalam mencari materi maupun non
materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniaan atau keakhiratan. Dengan demikian, semua bentuk aktifitas manusia
dimaknai kerja. Dalam pengertian semacam ini kerja tidak selalu berkaitan
dengan kompensasi, terutama kompensasi materi atau uang. Sementara dalam
pengertian khusus, kerja dimaknai secara aktifitas manusia yang bertujuan untuk
mendapat-kan kompensasi material yang sering dengan upah atau gaji.
Memang, sangat berkaitan antara istilah harga yang
adil dan upah yang adil. Soal upah ini, Aquinas hanya menyatakan, atas subyek
ini berlaku aturan yang sama dengan keadilan atas harga.Penulis dalam hal ini
tidak menemukan keterangan lebih rinci tentang subyek ini, berkaitan dengan
doktrin ekonomi yang berlaku di zaman pertengahan. Ringkasnya, penulis bisa
menyatakan bahwa upah yang adil itu, di mata para fisuf abad pertengahan,
berarti dasar pengupahan yang dibutuhkan untuk memungkinkan pekerja itu hidup
layak pada kondisi dan situasi di mana ia hidup.
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah
adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja
untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi
sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
B.
Rumusan masalah
-
Bagaimana nilai
kerja dalam pandangan islam?
-
Bagaimana
penentuan upah(ujrah) yang adil dan manusiawi?
-
Apa perbedaan
ujrah dalam ekonomi islam dan konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
NILAI KERJA DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam menjadikan
kerja sebagai sumber nilai insan dan ukuran yang tanggungjawab berbeza. Firman
Allah bermaksud: "Dan bahawa sesungguhnya tidak ada balasan bagi
seseorang itu melainkan balasan apa yang diusahakan". (al-Najm: 39)
Firman-Nya
lagi bermaksud: "Dan bagi tiap-tiap seseorang beberapa darjat tingkatan
balasan disebabkan amal yang mereka kerjakan dan ingatlah Tuhan itu tidak lalai
dari apa yang mereka lakukan". (al-An'am: 132)
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu
sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu
perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada
apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau
menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi
manusia berasaskan segi kelayakan. Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran
dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan bagi menentukan
suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi kerja seseorang
itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam
menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan politik.
1.
Definisi
Upah[1]
Upah dalam
bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi
hadiah/ upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas
pekerjaan dan pahala. Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya
yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga yang telah
dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah diberikan sebagai balas jasa atau
penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh karena atas pencurahan
tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.
Peraturan
pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah memberikan definisi bahwa
upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha atau majikan kepada
tenaga kerja atau pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut
suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar
suatu perjajian kerja antara pengusaha atau majikan (pemberi kerja) dan pekerja
termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun untuk keluarganya.
Berdasarkan
pada beberapa pendapat di atas, dapat memberikan pengertian dan pemahaman bahwa
upah merupakan nama bagi sesuatu yang baik berupa uang atau bukan yang lazim
digunakan sebagai imbalan atau balas jasa, atau sebagai penggantian atas jasa
dari pekerjaan yang telah dikeluarkan oleh pihak majikan kepada pihak pekerja
atau buruh.
2.
Dasar
Hukum Upah
Sumber hukum dalam Islam yang dipakai dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan al-Qur’an dan
Sunah Nabi, di samping masih banyak lagi sumber hukum yang dapat digunakan. al-
Qur’an sebagai sumber hukum dasar yang menjadi pijakannya.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :

“Dan
katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa
yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab
menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah
Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat,
baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat
yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah
menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada
ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.
Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari, maka seorang
yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai
amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau
mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang
karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di
dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan ayat diatas, maka Imbalan dalam konsep Islam
menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling
penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih penting dari pada penekanan terhadap dunia
(dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an
surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan
kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita
kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi
atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak
benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi
itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih
baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan
terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan
adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal
hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi
dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang
upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“
Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka
di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada
mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan
tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR.
Muslim).
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya
materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan
pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang
dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)”
, bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan
yang menerima upah.
3.
Bentuk-bentuk
upah[2]
Sesuai dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang
yang dibagi menurut ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain
itu. Adapun upah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang
dan upah dalam bentuk barang.
Taqiyyudin an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan
menjadi:
a. Upah (ajrun) musamma,
yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan ketika
disebutkan harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak dengan upah yang
telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsur paksaan.
b. Upah (ajrun ) misl’
yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya, baik sepadan dengan jasa
kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja.
4. Syarat-syarat upah
Adapun syarat-syarat upah, Taqiyyudin an-Nabhani memberikan
kriteria sebagai berikut:
a.
Upah
hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan
dan disebutkan besar dan bentuk upah.
b. Upah harus dibayarkan sesegera
mungkin atau sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam akad.
c. Upah tersebut bisa dimanfaatkan oleh
pekerja untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dan keluarganya (baik dalam
bentuk uang atau barang atau jasa).
d. Upah yang diberikan harus sesuai dan
berharga. Maksud dari sesuai adalah sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak
dikurangi dan tidak ditambahi. Upah harus sesuai dengan pekerjaan yang telah
dikerjakan, tidaklah tepat jika pekerjaan yang diberikan banyak dan beraneka
ragam jenisnya, sedangkan upah yang diberikan tidak seimbang. Sedangkan
berharga maksudnya adalah upah tersebut dapat diukur dengan uang.
e. Upah yang diberikan majikan bisa
dipastikan kehalalannya, artinya barang-barang tersebut bukanlah baring curian,
rampasan, penipuan atau sejenisnya.
f. Barang pengganti upah yang diberikan
tidak cacat, misalnya barang pengganti tersebut adalah nasi dan lauk pauk, maka
tidak boleh diberikan yang sudah basi atau berbau kurang sedap.
B.
PENENTUAN UJRAH YANG ADIL DAN
MANUSIAWI
1. Dasar pengupahan[3]
Dalam Islam secara konseptual yang menjadi
dasar penetapan upah adalah dari jasa pekerja, bukan tenaga yang dicurahkan
dalam pekerjaan. Apabila upah ditetapkan berdasarkan tenaga yang dicurahkan,
maka upah buruh kasar bangunan akan lebih tinggi dari pada arsitek yang
merancang bangunan tersebut. Selain itu dalam penetapan upah dapat didasarkan
pada tiga asas, yaitu asas keadilan, kelayakan dan kebajikan.
Dalam menetapkan upah, menurut Yusuf
al-Qaradawi ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu nilai kerja dan kebutuhan
hidup. Nilai kerja menjadi pijakan penetapan upah, karena tidak mungkin
menyamaratakan upah bagi buruh terdidik atau buruh yang tidak mempunyai
keahlian, sedangkan kebutuhan pokok harus diperhatikan karena berkaitan dengan
kelangsungan hidup buruh.
Sedangkan Afzalurrahman mengatakan bahwa upah
akan ditentukan melalui negoisasi di antara para pekerja (buruh), majikan
(pengusaha) dan negara. Kepentingan pengusaha dan pekerja akan diperhitungkan
dengan adil sampai pada keputusan tentang upah. Tugas negara adalah memastikan
bahwa upah ditetapkan dengan tidak telalu rendah sehingga menafikan kebutuhan
hidup para pekerja atau buruh, tetapi tidak juga terlalu tinggi sehingga
menafikan bagian si pengusahadari hasil produk bersamanya.
2.
Prinsip-prinsip pengupahan
Islam menawarkan suatu penyelesaian yang baik
atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan dua belah pihak, yakni buruh
dan pengusaha. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dipenuhi berkaitan
dengan persoalan yaitu prinsip keadilan, kelayakan, dan kebajikan.
a.
Prinsip
keadilan
Seorang pengusaha tidak diperkenankan bertindak
kejam terhadap buruh dengan menghilangkan hak sepenuhnya dari bagian mereka.
Upah itetapkan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak
manapun, setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerja sama mereka
tanpa adanya ketidakadilan terhadap pihak lain. Upah kerja minimal dapat
memenuhi kebutuhan pokok dengan ukuran taraf hidup lingkungan masyarakat
sekitar. Keadilan berarti menuntut upah kerja yang seimbang dengan jasa yang
diberikan buruh.
Dalam hal keadilan, Azhar Basyir menyarankan
terpenuhinya dua model keadilan dalam pemberian upah pada huruh, yaitu:
1)
keadilan
disributif menuntut agar para huruh yang mengerjakan pekerjaan yang sama dengan
kemampuan kadar kerja yang berdekatan, al-Qur`an memperoleh imbalan atau upah
yang sama tanpa memperhatikan kebutuhan perorangan dan keluarganya.
2)
keadilan
harga kerja, menuntut pada para buruh untuk memberikan upah yang seimbang
dengan tenaga yang diberikan tanpa dipengaruhi oleh hukum penawaran dan
permintaan yang menguntungkan pemilik perusahaan.
b. Prinsip
kelayakan
Kelayakan
menuntut agar upah kerja cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum secara
layak, Adapun layak mempunyai makna sebagai berikut: Layak bemakna cukup
pangan, sandang, dan papan.
Jika ditinjau
dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :“Mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari dua hadits
diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat
dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat
tinggal). Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah,
menjadi tugas majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.
Artinya, hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan
pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga
majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan
konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini
dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha
muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan
kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis
dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang
artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para
majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan
kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“. Konsep
inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah
menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep
moral. Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di
Barat sangat kecilkarena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning
service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service,
tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang
akan diberikan.
c. Prinsip
kebajikan
Sedangkan kebajikan berarti menuntut agar jasa
yang diberikan mendatangkan keuntungan besar kepada. buruh supaya. bisa
diberikan bonus.
Dalam
perjanjian kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam
semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya yang merugikan
kepentingan pengusaha dan buruh. Penganiayaan terhadap buruh berarti bahwa
mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerjasama
sebagai jatah dari hasil kerja buruh. Sedangkan yang dimaksud dengan
penganiayaan terhadap pengusaha adalah mereka dipaksa buruh untuk membayar upah
buruh melebihi dari kemampuan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar,
Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja sesuai
dengan perjanjian yang disepakati (akad). Mereka bebas bergerak untuk mencari
penghidupan di bagian mana saja di dalam negaranya. Tidak ada pembatasan sama
sekali terhadap perpindahan mereka dari satu daerah ke daerah lainnya di negara
tersebut guna mencari upah yang lebih tinggi.
Metode kedua yang dianjurkan oleh Islam dalam
menentukan standar upah di seluruh negeri adalah dengan benar-benar memberi
kebebasan dalam bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja yang
sesuai dengan pilihannya serta tidak ada pembatasan yang mungkin dapat
menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja dalam memilih pekerjaan atau
daerah kerjanya yang sesuai.
3.
Tingkatan dalam Pemberian Upah[4]
a.
Tingkat upah minimum
Pekerja dalam hubungannya dengan majikan berada
dalam posisi yang sangat lemah. Selalu ada kemungkinan kepentingan para pekerja
tidak dilindungi dengan baik. Mengingat posisinya yang lemah itu, Islam
memberikan perhatian dalam melindungi hak para pekerja dari segala gangguan
yang dilakukan oleh majikannya (pengusaha). Oleh karena itu untuk melindungi
kepentingana dari pelanggaran hak perlu ditentukan upah minimum yang dapat
mencakup kebutuhan pokok hidup, termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal dan
lainya, sehingga pekerja akan memperoleh kehidupan yang layak. Penyediaan
kebutuhan pokok ini dapat disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Thaha
ayat 118-119: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang
yang zalim.”(Surat Thaha ayat 118-119)
Negara mempunyai peranan yang sangat penting,
yaitu memperhatikan agar setiap pekerja memperoleh upah yang cukup untuk
mempertahankan suatu tingkat kebidupan yang wajar serta tidak memperbolehkan
upah di bawah tingkat minimum. Tingkat upah minimum ini harus selalu dipantau
dan sewaktu-waktu direvisi kembali untuk melakukan penyesuaian tingkat harga
dan biaya hidup dalam masyarakat.
b.
Tingkat upah tertinggi
Bakat dan keterampilan seorang pekerja
merupakan salah satu faktor upahnya tinggi atau tidak. Pekerja yang intelektual
dengan pekerja kasar, atau pekerja yang handal dengan pekerja yang tidak handal,
mengakibatkan upah berbeda tingkatanya.Selain itu perbedaan upah timbul karena
perbedaan keuntungan yang tidak berupa uang, karena ketidaktahuan atau
kelambanan dalam bekerja, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Oleh
karena itu, Islam memang tidak memberikan upah berada di bawah upah minimum
yang telah ditetapkan, demikian halnya Islam juga tidak membolehkan kenaikan
upah melebihi tingkat tertentu melebihi sumbangsih dalam produksinya. Oleh
karena itu, tidak perlu terjadi kenaikan upah yang melampaui batas tertinggi
dalam penentuan batas maksimum upah tersebut. Setidak-tidaknya upah dapat
memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarga agar tercipta keadilan dan
pemerataan kesejahteraan.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan
hahwa batasan mengenai upah tertinggi adalah sesuai dengan apa yang telah
dikerjakan. Adapun besarya tingkat upah maksimum pekerja akan bervariasi
berdasarkan jasa yang disumbangkan dalam produksi.
c.
Tingkat upah sebenarnya
Islam telah menyediakan usaha pengamanan untuk
melindungi hak majikan dan pekerja. Jatuhnya upah di bawah tingkat upah minimum
atau naiknya upah melebihi batas upah maksimum seharusnya tidak terjadi. Upah
yang sesungguhnya akan berubah dengan sendirinya berdasarkan hukum penawaran
dan permintaan tenaga kerja, yang sudah tentu dipengaruhi oleh standar hidup
pekerja, kekuatan efektif dari organisasi
pekerja, serta sikap para majikan yang mencerminkan keimanan mereka
terhadap balasan Allah SWT.
Sebagai hasil interaksi antara kedua kekuatan
antara majikan dan buruh, maka upah akan berada di antara upah minimum dan
maksimum yang mengacu pada taraf hidup yang lazim serta kontribusi yang telah
diberikan para pekerja. Jika pada suatu waktu upah minimum jatuh di bawah
tingkat minimum ataupun sebaliknya, maka negara berhak melakukan campur tangan
dan menetapkan upah sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat upah
sebenarnya akan berkisar antara kedua batas upah berdasarkan hukum persediaan
dan penawaran tenaga kerja dan dipengaruhi oleh standar hidup sehari-hari
kelompok kerja, sebagai hasilnya tingkat upah minimum dan maksimum akan
ditetapkan berdasarkan standar hidup kelompok pekerja dan tetap merangkak naik
sesuai dengan naiknya standar hidup tersebut.
D.
Perbedaan penentuan ujrah dalam
ekonomi islam dan konvensional[5]
Upah yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf
kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah umar r.a gaji pegawai
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Jika tingkat biaya hidup masyarakat setempat meningkat, maka upah para pegawai
harus dinaikkan, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Berikut adalah perbedaan ujrah dalam ekonomi islam dan
konvensional :
NO
|
ASPEK
|
KONVENSIONAL
|
ISLAM
|
1
|
Keterkaitan yang erat antara upah
dengan moral
|
TIDAK
|
YA
|
2
|
Upah memiliki dua dimensi : Dunia
dan Akhirat
|
TIDAK
|
YA
|
3
|
Upah diberikan berdasarkan prinsip
keadilan (justice)
|
YA
|
YA
|
4
|
Upah diberikan berdasarkan prinsip
kelayakan
|
YA
|
YA
|
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Upah
adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya
dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan
pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Jumhur
fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat
manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua
pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain
untuk membantunya.
Kerja
sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau
harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada
apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia
bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan
sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan.
Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga
syarat-syarat kegiatan bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya
dapat dinilai prestasi kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat
menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada
segi sosial, ekonomi dan politik.
Upah yang diberikan berdasarkan tingkat
kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah umar
r.a gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakat setempat. Jika tingkat biaya hidup masyarakat setempat meningkat,
maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan
hidup.
B.
SARAN
Semoga
makalah ini dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran mata kuliah ekonomi
mikro dan juga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Didalam pembuatan
makalah pasti ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun sangat dibutuhkan demi pembuatan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi
dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990
Ø Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta
dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992
Ø M.B.
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, (Yogyakarta: Ekonisia
UII, 2003)
Ø A.A.
Islahi, Konsepsi Ekonomi Fiqh Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997)
Ø Abdul
Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1