Minggu, 27 Mei 2018

makalah tentang TEORI KETENAGAKERJAAN DAN UPAH




MAKALAH
ILMU EKONOMI MIKRO


Tentang :
TEORI KETENAGAKERJAAN DAN UPAH


Oleh :
DEKA NANDA SAPUTRA
NIM: 1630403018


Dosen :
SYUKRI ISKA, M. AG
IVELDA NENGSIH, SEI. MA


JURUSAN EKONOMI SYARIAH KOSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR 2017



DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
A.    Latar belakang
B.     Rumusan masalah
BAB II (PEMBAHASAN)
A.    Nilai kerja dalam pandangan islam
B.     Penentuan ujrah yang adil dan manusiawi
C.     Perbedaan penentuan ujrah dalam ekonomi islam dan konvensional
BAB III (PENUTUP)
A.    KESIMPULAN
B.     SARAN

DAFTAR PUSTAKA



















BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kerja merupakan salah satu kegiatan penting bagi kehidupan manusia, bahkan terkadang menjadi sangat dominan dibanding dengan aktifitas-aktifitas lainnya terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kerja dapat diartikan secara umum maupun khusus. Secara umum, kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan oleh manusia, baik dalam mencari materi maupun non materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Dengan demikian, semua bentuk aktifitas manusia dimaknai kerja. Dalam pengertian semacam ini kerja tidak selalu berkaitan dengan kompensasi, terutama kompensasi materi atau uang. Sementara dalam pengertian khusus, kerja dimaknai secara aktifitas manusia yang bertujuan untuk mendapat-kan kompensasi material yang sering dengan upah atau gaji.
Memang, sangat berkaitan antara istilah harga yang adil dan upah yang adil. Soal upah ini, Aquinas hanya menyatakan, atas subyek ini berlaku aturan yang sama dengan keadilan atas harga.Penulis dalam hal ini tidak menemukan keterangan lebih rinci tentang subyek ini, berkaitan dengan doktrin ekonomi yang berlaku di zaman pertengahan. Ringkasnya, penulis bisa menyatakan bahwa upah yang adil itu, di mata para fisuf abad pertengahan, berarti dasar pengupahan yang dibutuhkan untuk memungkinkan pekerja itu hidup layak pada kondisi dan situasi di mana ia hidup.
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
B.     Rumusan masalah
-          Bagaimana nilai kerja dalam pandangan islam?
-          Bagaimana penentuan upah(ujrah) yang adil dan manusiawi?
-          Apa perbedaan ujrah dalam ekonomi islam dan konvensional?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    NILAI KERJA DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam menjadikan kerja sebagai sumber nilai insan dan ukuran yang tanggungjawab berbeza. Firman Allah bermaksud: "Dan bahawa sesungguhnya tidak ada balasan bagi seseorang itu melainkan balasan apa yang diusahakan". (al-Najm: 39)
Firman-Nya lagi bermaksud: "Dan bagi tiap-tiap seseorang beberapa darjat tingkatan balasan disebabkan amal yang mereka kerjakan dan ingatlah Tuhan itu tidak lalai dari apa yang mereka lakukan". (al-An'am: 132)
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan. Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan politik.
1.      Definisi Upah[1]
Upah dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi hadiah/ upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala. Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.
Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah memberikan definisi bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha atau majikan kepada tenaga kerja atau pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjajian kerja antara pengusaha atau majikan (pemberi kerja) dan pekerja termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun untuk keluarganya.
Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, dapat memberikan pengertian dan pemahaman bahwa upah merupakan nama bagi sesuatu yang baik berupa uang atau bukan yang lazim digunakan sebagai imbalan atau balas jasa, atau sebagai penggantian atas jasa dari pekerjaan yang telah dikeluarkan oleh pihak majikan kepada pihak pekerja atau buruh.

2.      Dasar Hukum Upah
Sumber hukum dalam Islam yang dipakai dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan al-Qur’an dan Sunah Nabi, di samping masih banyak lagi sumber hukum yang dapat digunakan. al- Qur’an sebagai sumber hukum dasar yang menjadi pijakannya.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.
Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram.  Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan ayat diatas, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih penting dari pada  penekanan terhadap dunia    (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.  Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya.  Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.  Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.

3.      Bentuk-bentuk upah[2]
Sesuai dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang yang dibagi menurut ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain itu. Adapun upah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang dan upah dalam bentuk barang.
Taqiyyudin an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan menjadi:
a.       Upah (ajrun) musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak dengan upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsur paksaan.
b.      Upah (ajrun ) misl’ yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya, baik sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja.
4.      Syarat-syarat upah
Adapun syarat-syarat upah, Taqiyyudin an-Nabhani memberikan kriteria sebagai berikut:
a.      Upah hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan dan disebutkan besar dan bentuk upah.
b.      Upah harus dibayarkan sesegera mungkin atau sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam akad.
c.       Upah tersebut bisa dimanfaatkan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dan keluarganya (baik dalam bentuk uang atau barang atau jasa).
d.      Upah yang diberikan harus sesuai dan berharga. Maksud dari sesuai adalah sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak dikurangi dan tidak ditambahi. Upah harus sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan, tidaklah tepat jika pekerjaan yang diberikan banyak dan beraneka ragam jenisnya, sedangkan upah yang diberikan tidak seimbang. Sedangkan berharga maksudnya adalah upah tersebut dapat diukur dengan uang.
e.       Upah yang diberikan majikan bisa dipastikan kehalalannya, artinya barang-barang tersebut bukanlah baring curian, rampasan, penipuan atau sejenisnya.
f.       Barang pengganti upah yang diberikan tidak cacat, misalnya barang pengganti tersebut adalah nasi dan lauk pauk, maka tidak boleh diberikan yang sudah basi atau berbau kurang sedap.
B.     PENENTUAN UJRAH YANG ADIL DAN MANUSIAWI
1.      Dasar pengupahan[3]
Dalam Islam secara konseptual yang menjadi dasar penetapan upah adalah dari jasa pekerja, bukan tenaga yang dicurahkan dalam pekerjaan. Apabila upah ditetapkan berdasarkan tenaga yang dicurahkan, maka upah buruh kasar bangunan akan lebih tinggi dari pada arsitek yang merancang bangunan tersebut. Selain itu dalam penetapan upah dapat didasarkan pada tiga asas, yaitu asas keadilan, kelayakan dan kebajikan.
Dalam menetapkan upah, menurut Yusuf al-Qaradawi ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu nilai kerja dan kebutuhan hidup. Nilai kerja menjadi pijakan penetapan upah, karena tidak mungkin menyamaratakan upah bagi buruh terdidik atau buruh yang tidak mempunyai keahlian, sedangkan kebutuhan pokok harus diperhatikan karena berkaitan dengan kelangsungan hidup buruh.
Sedangkan Afzalurrahman mengatakan bahwa upah akan ditentukan melalui negoisasi di antara para pekerja (buruh), majikan (pengusaha) dan negara. Kepentingan pengusaha dan pekerja akan diperhitungkan dengan adil sampai pada keputusan tentang upah. Tugas negara adalah memastikan bahwa upah ditetapkan dengan tidak telalu rendah sehingga menafikan kebutuhan hidup para pekerja atau buruh, tetapi tidak juga terlalu tinggi sehingga menafikan bagian si pengusahadari hasil produk bersamanya.
2.      Prinsip-prinsip pengupahan
Islam menawarkan suatu penyelesaian yang baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan dua belah pihak, yakni buruh dan pengusaha. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dipenuhi berkaitan dengan persoalan yaitu prinsip keadilan, kelayakan, dan kebajikan.

a.       Prinsip keadilan
Seorang pengusaha tidak diperkenankan bertindak kejam terhadap buruh dengan menghilangkan hak sepenuhnya dari bagian mereka. Upah itetapkan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun, setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerja sama mereka tanpa adanya ketidakadilan terhadap pihak lain. Upah kerja minimal dapat memenuhi kebutuhan pokok dengan ukuran taraf hidup lingkungan masyarakat sekitar. Keadilan berarti menuntut upah kerja yang seimbang dengan jasa yang diberikan buruh.
Dalam hal keadilan, Azhar Basyir menyarankan terpenuhinya dua model keadilan dalam pemberian upah pada huruh, yaitu:
1)     keadilan disributif menuntut agar para huruh yang mengerjakan pekerjaan yang sama dengan kemampuan kadar kerja yang berdekatan, al-Qur`an memperoleh imbalan atau upah yang sama tanpa memperhatikan kebutuhan perorangan dan keluarganya.
2)     keadilan harga kerja, menuntut pada para buruh untuk memberikan upah yang seimbang dengan tenaga yang diberikan tanpa dipengaruhi oleh hukum penawaran dan permintaan yang menguntungkan pemilik perusahaan.
b.      Prinsip kelayakan
Kelayakan menuntut agar upah kerja cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum secara layak, Adapun layak mempunyai makna sebagai berikut: Layak bemakna cukup pangan, sandang, dan papan.
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal).  Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.  Artinya, hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan.  Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya  di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“. Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari     konsep moral.  Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang   pegawai di Barat  sangat   kecilkarena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service).  Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.
c.       Prinsip kebajikan
Sedangkan kebajikan berarti menuntut agar jasa yang diberikan mendatangkan keuntungan besar kepada. buruh supaya. bisa diberikan bonus. Dalam perjanjian kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya yang merugikan kepentingan pengusaha dan buruh. Penganiayaan terhadap buruh berarti bahwa mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerjasama sebagai jatah dari hasil kerja buruh. Sedangkan yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap pengusaha adalah mereka dipaksa buruh untuk membayar upah buruh melebihi dari kemampuan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar, Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja sesuai dengan perjanjian yang disepakati (akad). Mereka bebas bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam negaranya. Tidak ada pembatasan sama sekali terhadap perpindahan mereka dari satu daerah ke daerah lainnya di negara tersebut guna mencari upah yang lebih tinggi.
Metode kedua yang dianjurkan oleh Islam dalam menentukan standar upah di seluruh negeri adalah dengan benar-benar memberi kebebasan dalam bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja yang sesuai dengan pilihannya serta tidak ada pembatasan yang mungkin dapat menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja dalam memilih pekerjaan atau daerah kerjanya yang sesuai.
3.      Tingkatan dalam Pemberian Upah[4]
a.      Tingkat upah minimum
Pekerja dalam hubungannya dengan majikan berada dalam posisi yang sangat lemah. Selalu ada kemungkinan kepentingan para pekerja tidak dilindungi dengan baik. Mengingat posisinya yang lemah itu, Islam memberikan perhatian dalam melindungi hak para pekerja dari segala gangguan yang dilakukan oleh majikannya (pengusaha). Oleh karena itu untuk melindungi kepentingana dari pelanggaran hak perlu ditentukan upah minimum yang dapat mencakup kebutuhan pokok hidup, termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainya, sehingga pekerja akan memperoleh kehidupan yang layak. Penyediaan kebutuhan pokok ini dapat disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 118-119: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”(Surat Thaha ayat 118-119)
Negara mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu memperhatikan agar setiap pekerja memperoleh upah yang cukup untuk mempertahankan suatu tingkat kebidupan yang wajar serta tidak memperbolehkan upah di bawah tingkat minimum. Tingkat upah minimum ini harus selalu dipantau dan sewaktu-waktu direvisi kembali untuk melakukan penyesuaian tingkat harga dan biaya hidup dalam masyarakat.
b.      Tingkat upah tertinggi
Bakat dan keterampilan seorang pekerja merupakan salah satu faktor upahnya tinggi atau tidak. Pekerja yang intelektual dengan pekerja kasar, atau pekerja yang handal dengan pekerja yang tidak handal, mengakibatkan upah berbeda tingkatanya.Selain itu perbedaan upah timbul karena perbedaan keuntungan yang tidak berupa uang, karena ketidaktahuan atau kelambanan dalam bekerja, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, Islam memang tidak memberikan upah berada di bawah upah minimum yang telah ditetapkan, demikian halnya Islam juga tidak membolehkan kenaikan upah melebihi tingkat tertentu melebihi sumbangsih dalam produksinya. Oleh karena itu, tidak perlu terjadi kenaikan upah yang melampaui batas tertinggi dalam penentuan batas maksimum upah tersebut. Setidak-tidaknya upah dapat memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarga agar tercipta keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan hahwa batasan mengenai upah tertinggi adalah sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Adapun besarya tingkat upah maksimum pekerja akan bervariasi berdasarkan jasa yang disumbangkan dalam produksi.
c.       Tingkat upah sebenarnya
Islam telah menyediakan usaha pengamanan untuk melindungi hak majikan dan pekerja. Jatuhnya upah di bawah tingkat upah minimum atau naiknya upah melebihi batas upah maksimum seharusnya tidak terjadi. Upah yang sesungguhnya akan berubah dengan sendirinya berdasarkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja, yang sudah tentu dipengaruhi oleh standar hidup pekerja, kekuatan efektif dari organisasi  pekerja, serta sikap para majikan yang mencerminkan keimanan mereka terhadap balasan Allah SWT.
Sebagai hasil interaksi antara kedua kekuatan antara majikan dan buruh, maka upah akan berada di antara upah minimum dan maksimum yang mengacu pada taraf hidup yang lazim serta kontribusi yang telah diberikan para pekerja. Jika pada suatu waktu upah minimum jatuh di bawah tingkat minimum ataupun sebaliknya, maka negara berhak melakukan campur tangan dan menetapkan upah sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat upah sebenarnya akan berkisar antara kedua batas upah berdasarkan hukum persediaan dan penawaran tenaga kerja dan dipengaruhi oleh standar hidup sehari-hari kelompok kerja, sebagai hasilnya tingkat upah minimum dan maksimum akan ditetapkan berdasarkan standar hidup kelompok pekerja dan tetap merangkak naik sesuai dengan naiknya standar hidup tersebut.

D.    Perbedaan penentuan ujrah dalam ekonomi islam dan konvensional[5]
Upah yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah umar r.a gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika tingkat biaya hidup masyarakat setempat meningkat, maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Berikut adalah perbedaan ujrah dalam ekonomi islam dan konvensional :
NO
ASPEK
KONVENSIONAL
ISLAM
1
Keterkaitan yang erat antara upah dengan moral
TIDAK
YA
2
Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan Akhirat
TIDAK
YA
3
Upah diberikan berdasarkan prinsip keadilan (justice)
YA
YA
4
Upah diberikan berdasarkan prinsip kelayakan
YA
YA





BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Jumhur fukaha bersepakat bahwa hokum upah mubah. Hal ini, didasari karena upah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Upah merupakan akad yang sangat manusiawi. Karena sseorang dalam kehidupannya tidak mampu dalam memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya.
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan. Oleh yang demikian Islam menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan politik.
Upah yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah umar r.a gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika tingkat biaya hidup masyarakat setempat meningkat, maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.
B.     SARAN
Semoga makalah ini dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran mata kuliah ekonomi mikro dan juga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Didalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat dibutuhkan demi pembuatan makalah kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990
Ø  Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992
Ø  M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2003)
Ø  A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Fiqh Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997)
Ø  Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1








[1] M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990
[2] Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992
[3] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2003)
[4] A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Fiqh Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997)
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet.1

makalah tentang TEORI KETENAGAKERJAAN DAN UPAH

MAKALAH ILMU EKONOMI MIKRO Tentang : TEORI KE TENAGAKERJAAN DAN UPAH Oleh : DEKA NANDA SAPUTRA NIM: 1630403018 ...